BeritaYogya.com – Pada tanggal 3 Maret 1880, lahir seorang putra dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono VII, yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi. Setelah dewasa, GRM Sujadi mengganti gelarnya menjadi Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo dan kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Perjalanan GPH. Puruboyo sebagai pewaris tahta Kasultanan Ngayogyakarta sebenarnya penuh dengan peristiwa yang panjang. Awalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII telah menunjuk putra sulung GKR Hemas, yaitu GRM Akhadiyat, sebagai calon putera mahkota. Namun, sayangnya, GRM Akhadiyat sakit dan meninggal dunia tidak lama setelah dinobatkan sebagai putera mahkota. Kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengangkat GRM Pratistha sebagai pengganti putera mahkota sebelumnya. Namun, gelar putera mahkota kedua ini dicabut kemudian karena masalah kesehatan. Kemudian, posisi putera mahkota jatuh kepada GRM Putro, yang sayangnya juga meninggal dunia karena sakit yang parah. Akhirnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk menunjuk GPH Puruboyo sebagai putera mahkota.
Pada tahun 1920, GPH Puruboyo sedang menempuh pendidikan di Belanda ketika ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menyatakan niatnya untuk turun tahta. Mendengar berita ini, Residen Jonquire, yang merupakan wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan agar pergantian tahta dipercepat. Karena GPH Puruboyo masih berada di Belanda, Gubernur Jendral van Limburg Stirum setuju dengan usulan tersebut dan memerintahkan Jonquire untuk mendorong Sri Sultan Hamengku Buwono VII agar segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram. Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyetujui usulan ini dan mengirimkan telegram pada awal November 1920, meminta agar Gusti Puruboyo segera kembali karena keluarga dan pengikut setianya sudah menantikannya.
Setelah GPH Puruboyo setuju untuk kembali ke Yogyakarta dan menjadi pengganti ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk turun tahta dan pensiun di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH Puruboyo dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memiliki prinsip yang kuat dalam memanfaatkan kekayaan keraton untuk mendukung pendidikan. Seperti ayahnya, dia mendorong anak-anaknya untuk mengejar pendidikan formal yang tinggi, bahkan jika itu berarti harus pergi ke Belanda. Di masa pemerintahannya, banyak sekolah, organisasi, dan aktivis muncul, seperti Sekolah Taman Siswa Nasional (didirikan pada 3 Juli 1922), Organisasi Politik Katholik Jawi (1923), dan Kongres Perempuan (1929).
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga sangat peduli terhadap kesehatan, seperti mendukung pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (sekarang Panti Rapih). Selain itu, dia melakukan banyak perbaikan dan rehabilitasi bangunan, termasuk Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Danapratapa, dan Masjid Gede.
Dalam keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengambil tindakan yang inovatif, seperti “menitipkan” anak-anaknya di luar keraton. Misalnya, BRM Dorodjatun, yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dititipkan ke keluarga Belanda sejak usia 4 tahun tanpa pengasuh. Ini adalah langkah cerminan dari sikapnya yang menghargai pengalaman hidup yang mandiri.
Pada tahun 1939, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memanggil putranya, BRM Dorodjatun, yang sedang belajar di Belanda. Setelah pertemuan mereka di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun, menunjukkan bahwa BRM Dorojatun akan menjadi pewaris tahta setelahnya.
Namun, sayangnya, setelah kedatangan mereka di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Dia dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.
Pada masa pemerintahannya, Yogyakarta mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan, kesehatan, seni tari, arsitektur, dan wayang wong. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII berkontribusi besar dalam memajukan budaya dan pendidikan di Yogyakarta.