Menimbang Utung Rugi Jika Indonesia Gabung BRICS

17
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Foto: KOMINFO)

BeritaYogya.com – Terdapat spekulasi kuat bahwa Indonesia mungkin akan bergabung dengan kelompok BRICS, yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, menyusul kehadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tamu di Konferensi Tingkat Tinggi BRICS 2023 di Johannesburg, Afrika Selatan. Negara-negara anggota BRICS dikenal sebagai anggota penting dari beberapa organisasi internasional terkemuka seperti PBB, G20, Gerakan Non-Blok, dan G77.

Sejak China meluncurkan kembali format BRICS+ pada 2022, banyak negara berkembang yang menunjukkan minat untuk menjadi bagian dari BRICS. Laman resmi BRICS+ mencatat bahwa hingga Selasa (22/8/2023), lebih dari 40 negara telah menyatakan keinginannya untuk bergabung. Afrika Selatan mengonfirmasi bahwa negara-negara seperti Arab Saudi, Argentina, Aljazair, Bolivia, Ethiopia, Gabon, Iran, Komoro, Kazakhstan, Kuba, dan Republik Demokratik Kongo adalah di antara yang tertarik. Indonesia juga masuk dalam daftar negara yang berkeinginan untuk menjadi anggota.

Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga, menegaskan bahwa Indonesia memiliki ketertarikan untuk menjadi anggota BRICS. Hal ini dikarenakan potensi keuntungan yang bisa diperoleh, seperti kesempatan untuk memperluas pasar ke wilayah Afrika dan Amerika Latin. Jerry mengungkapkan bahwa ada banyak peluang yang dapat diakses dengan bergabung ke BRICS. Pernyataannya diberikan saat ia berada di Semarang, Jawa Tengah, pada Jumat (18/8/2023). Keberhasilan ekonomi Indonesia, yang mencatat surplus neraca dagang sebesar US$54,6 miliar di Desember 2022, inflasi sebesar 3,17%, serta pertumbuhan ekonomi stabil di angka 5%, menjadi daya tarik bagi negara-negara lain atau organisasi untuk mengundang Indonesia. Jerry berpendapat bahwa kestabilan ekonomi Indonesia bisa memberikan dampak positif jika memutuskan untuk bergabung dengan BRICS.

Shinta Kamdani, ketua umum dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menganggap BRICS sebagai aliansi ekonomi yang strategis. Ia percaya bahwa bergabung dengan BRICS bisa mendukung Indonesia dalam mengejar agenda-agenda internasional yang saat ini sulit diperjuangkan seorang diri, terutama karena dominasi kepentingan dari negara-negara maju. Namun, Shinta menyampaikan bahwa meskipun ada potensi keuntungan, keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak akan segera memberikan dampak ekonomi signifikan. Selain itu, bergabung tentu akan memerlukan biaya, baik dari sisi anggaran maupun dampak geopolitik. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya Indonesia untuk mempertimbangkan dengan cermat segala aspek, termasuk menganalisis manfaat dan risiko dari keanggotaan. Sebagai contoh, posisi Indonesia dalam konflik Ukraina-Rusia dan bagaimana bergabung dengan BRICS bisa mempengaruhi hubungan ekonomi yang telah terbina dengan negara-negara seperti anggota G7.

Jika Indonesia mempertimbangkan untuk bergabung dengan BRICS, negara ini perlu memiliki tujuan dan misi yang spesifik. Penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan strategi jangka menengah dan panjang guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, termasuk visi Indonesia Maju 2045. Namun, Indonesia perlu berhati-hati memutuskan bergabung dengan BRICS, terutama dengan situasi konflik yang sedang berlangsung antara Rusia-Ukraina dan ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Dianjurkan agar Indonesia tetap berpegang pada prinsip non-blok.

Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, menyatakan kekhawatiran bahwa posisi politik ekonomi Indonesia mungkin tampak condong ke arah China-Rusia jika memutuskan untuk bergabung. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan dengan mitra barat dan prospek investasi dari mereka. Bhima menegaskan hubungan antara keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dan besarnya investasi dari China, khususnya dalam program hilirisasi minerba. Laporan dari AidData menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara utama penerima program Belt and Road Initiative (BRI) dari China. Pada September 2021, ada 71 proyek infrastruktur BRI yang sedang berlangsung di Indonesia.

Berdasarkan nilai proyek, Indonesia menduduki peringkat kedua dalam program Belt and Road Initiative (BRI) dengan proyek senilai US$20,3 miliar. Pakistan menempati urutan pertama dengan proyek senilai US$27,3 miliar. Program BRI, yang dicanangkan oleh China pada 2013, bertujuan untuk membangun infrastruktur skala besar demi meningkatkan konektivitas dan kolaborasi antarbenua. Mengacu pada data ini, Bhima Yudhistira menyarankan agar Indonesia memanfaatkan kerja sama multilateral lainnya, seperti melalui G20, karena negara-negara BRICS juga tergabung dalam G20. Lebih lanjut, Bhima menambahkan bahwa Indonesia dapat menjalin kerja sama bilateral secara langsung dengan anggota BRICS tanpa perlu menjadi anggota kelompok tersebut. Dia menekankan pentingnya keseimbangan kebijakan ekonomi agar tidak terlalu berpihak kepada kepentingan China, yang saat ini telah mendapat banyak dukungan dari pemerintah Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here