BeritaYogya.com – Di tengah kompleksitas perjalanan zaman, masyarakat Indonesia terus dihadapkan pada berbagai isu yang menguji kemampuan untuk bersatu dalam perbedaan. Salah satu isu yang tengah hangat diperbincangkan adalah politik identitas. Dalam rangka menggali sudut pandang yang berbeda terkait hal ini, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Bantul menggelar sebuah sarasehan yang berani menolak politik identitas. Acara yang dihadiri oleh kalangan mahasiswa, akademisi, dan tokoh masyarakat ini menjadi sebuah panggung dialog yang menarik untuk menjelajahi isu yang mempengaruhi arus politik dan sosial di Indonesia.
Politik identitas, sebagai sebuah fenomena, mencerminkan paham di mana individu atau kelompok mengutamakan identitas kultural, agama, etnis, atau pandangan tertentu dalam mengambil keputusan politik. Terlepas dari tujuan awalnya yang mungkin mulia, seperti memperjuangkan hak-hak minoritas, politik identitas seringkali menjadi sumber polarisasi dan konflik. Dalam konteks pluralitas Indonesia, ketika politik identitas mendominasi, risiko disintegrasi sosial semakin meningkat.
Ketua IPNU Bantul, Danil Mawardi, mengungkapkan bahwa dalam rangka merayakan kemerdekaan, salah satu cara yang penting adalah dengan memperkuat kesatuan dan persatuan. Dia menekankan pentingnya menjalin hubungan baik antar organisasi sebagai langkah menuju kemajuan Indonesia. Lebih jauh lagi, Danil menjelaskan bahwa tema yang diusung dalam sarasehan ini adalah ‘Mengembangkan Solidaritas Kebangsaan di tengah Potensi Ancaman Politik Identitas menjelang Pemilu 2024.’ Konsep solidaritas kebangsaan yang dijelaskan oleh Danil merujuk pada hubungan persaudaraan yang melibatkan beragam ras, etnis, budaya, dan agama.
Sarasehan tersebut melibatkan delegasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan juga anggota Civitas Akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Sutrisnowati, S.H., M.H., M.Psi., yang merupakan Komisioner Bawaslu DIY, menyatakan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta, pemilih generasi milenial mencapai sekitar 51 persen dari total jumlah pemilih. Semua golongan ini memiliki peran yang signifikan dalam menentukan hasil pemilu yang adil dan bermartabat. Salah satu cara melakukannya adalah melalui penggunaan media sosial dengan penuh kesadaran dan positivitas.
Sementara Dian Kus Pratiwi, seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), yang hadir sebagai narasumber, menyoroti dari sudut pandang akademik bahwa fenomena politik identitas tidak dapat dihindarkan. Hal ini diakui karena masyarakat Indonesia secara faktual telah terbagi dalam kelompok-kelompok yang dibentuk berdasarkan agama, suku, dan ras.
“Namun demikian yang harus kita hindari yaitu jangan sampai keberagaman ini ditumpangi menjadi alat penyebar kebencian kepada lawan politik,” kata Dian Kus Pratiwi dikutip dari Harian Jogja.
IPNU Bantul telah memberikan contoh nyata tentang bagaimana kepemudaan yang terdidik dan berpikiran terbuka dapat membawa perubahan positif dalam tata politik dan sosial. Sarasehan ini tidak hanya menjadi forum dialog, tetapi juga merupakan langkah konkret untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan di tengah arus globalisasi yang menguji tekad persatuan.
Dengan tekad yang teguh, mari kita bahu-membahu melangkah, menyatukan perbedaan, dan menolak politik identitas demi mewujudkan Indonesia yang bersatu, adil, dan sejahtera untuk semua. Seperti yang dinyatakan oleh IPNU Bantul, marilah kita merajut ukhuwah wathaniyah, ikatan persaudaraan yang tidak mengenal batas, agar negeri ini tetap menjadi tempat yang damai, berwarna, dan penuh harapan.