BeritaYogya.com – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengaku belum mengetahui rencana proyek beautifikasi Stasiun Lempuyangan yang dijalankan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Bahkan, ia mengaku tidak tahu bahwa proyek itu akan berdampak pada penggusuran 14 rumah warga yang berada tepat di depan stasiun tersebut.
“Apa Lempuyangan? Wah aku itu ora ngerti. Sing ngerti itu (GKR) Mangkubumi,” ucap Sultan, Kamis (10/4/2025), usai menerima kunjungan Duta Besar Polandia.
Sebagai Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur DIY, Sultan menuturkan bahwa pengelolaan tanah-tanah milik keraton atau Sultan Ground (SG) merupakan tanggung jawab GKR Mangkubumi, putri sulungnya yang menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Datu Danasuyasa.
Sultan bahkan sempat bertanya balik kepada awak media soal alasan penggusuran oleh PT KAI. Setelah dijelaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari revitalisasi stasiun, Sultan mengatakan akan mendalami terlebih dahulu persoalan yang ada.
“Ya coba nanti kita selesaikan. Bagaimanapun harus selesai itu kalau ada masalah. Tapi saya belum tahu itu masalahnya seperti apa,” kata Sultan di Kompleks Kepatihan.
Lebih lanjut, Sultan menyatakan akan meminta GKR Mangkubumi untuk memfasilitasi proses mediasi antara warga terdampak dengan PT KAI, melalui Kawedanan Hageng Datu Danasuyasa.
“Yang mengundang biar lewat Mangkubumi, karena itu wewenangnya dia kok,” ujarnya.
Sebagai informasi, Kawedanan Hageng Datu Danasuyasa dibentuk di masa pemerintahan Sri Sultan HB X. Kawedanan ini bertugas mengurus pemeliharaan dan pengelolaan aset-aset keraton, termasuk tanah keprabon dan bukan keprabon, serta aset bangunan di luar kompleks keraton.
Di sisi lain, PT KAI menyatakan bahwa mereka sudah mengantongi serat palilah dari Keraton Yogyakarta untuk menggunakan lahan di depan Stasiun Lempuyangan, yang mencakup 14 bangunan tersebut. Namun, penolakan datang dari warga RT 02/RW 01, Kalurahan Bausasran, Kemantren Danurejan.
Ketua RW 01, Anton Handriutomo, menyatakan bahwa warga menolak rencana pengosongan lahan tersebut. Ia menegaskan bahwa meskipun KAI mengklaim sebagai pemilik sah atas bangunan eks Belanda itu, warga sudah lama tinggal dan memiliki dokumen pendukung.
“Palilah itu surat sementara, hanya berlaku satu tahun, dan hanya untuk menindaklanjuti kekancingan dari keraton. Kami masing-masing warga sudah punya SKT atau Surat Keterangan Tanah,” tegas Anton.